WASPADAI, SUBSIDENSI DAN PENURUNAN AIR BAWAH TANAH JAKARTA
Hal itu terungkap dalam bedah buku Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Press berjudul Ancaman Bawah Permukaan Jakarta Tak Terlihat, Tak Terpikirkan, dan Tak Terduga. Hasil riset selama satu dasawarsa ini dituangkan dalam bentuk buku yang mengupas beragam temuan-temuan penting.
Peneliti Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI yang juga salah satu penulis buku tersebut Robert M Delinom mengatakan, perlu kehati-hatian terhadap kondisi bawah permukaan Jakarta yang lebih mudah subsiden (mengalami penurunan). Selain itu, kondisi air tanah kualitasnya tidak lagi begitu baik.
"Penurunan tanah bisa dikurangi dengan pengurangan pembangunan. Wilayah Jakarta Utara jangan lagi diganggu dengan masifnya bangunan. Industri yang ada di Jakarta pun seharusnya pindah ke Tangerang dan Bekasi karena industri paling haus air," katanya di Jakarta, Rabu (31/8).
Oleh sebab itu, Robert menyarankan, perlu perubahan pola pembangunan. Wilayah utara Jakarta tidak diperkenankan ada bangunan masif, di tengah masih direkomendasikan bangunan masif dan perkantoran serta di wilayah selatan harus diperbanyak wilayah terbuka hijau dan lokasi parkir air (tempat bermuaranya air).
"Tempat-tempat yang kelihatannya turun perlu juga memperluas tempat-tempat parkir air seperti di wilayah utara dan barat Jakarta," ucapnya.
Menurutnya, penurunan muka tanah Jakarta pun menyebabkan banjir sulit ditangkal.
Meski begitu, ia mengapresiasi Pemprov DKI Jakarta yang mengupayakan perbaikan sungai dan mengeluarkan aturan terkait pengambilan air tanah.
Robert mengungkapkan, pengambilan air tanah sesungguhnya sudah terjadi sejak zaman Belanda. Sumur gali pertama ada pada tahun 1627 sedalam tiga meter di Museum Fatahillah.
"Pengambilan air tanah ini karena sungai sudah terganggu. Sejak zaman bang Jampang pun banjir sudah terjadi. Hanya saja dulu manusia dan bangunan masih sedikit," ujarnya.
Staf Bidang Pengendalian dan Dampak Lingkungan Badan Pengelola Lingkungan Hidup Daerah DKI Jakarta Bawa Sarasa mengatakan, masalah air tanah memang menjadi ancaman.
Ia menjelaskan, kebutuhan air bersih Jakarta tahun 2015 tercatat 26.645,6 liter per detik atau 824 juta meter kubik per tahun. Kemampuan Perusahaan Air Minum (PAM) hanya 18.025 liter per detik atau 560 juta meter kubik per tahun.
Itu pun ada kebocoran 41,42 persen sebesar 232 juta meter kubik per tahun. Sisa kemampuan air PAM 328 juta meter kubik per tahun atau 39,82 persen. Sedangkan yang mengandalkan air bersih dari air tanah 496 juta meter kubik per tahun atau 60,18 persen.
"Harus ada keseimbangan antara pemasukan dan pengambilan air tanah yang besar. Sehingga perlu sumur resapan yang masing-masing rumah diimbau untuk membuatnya," ucapnya.
Tinggalkan Komentar